Arya Pengalasan Bali
aryapengalasanbali.blogspot.com
Loka Sabha Keluarga Besar Arya Pengalasan Pusat Bedulu Gianyar-Bali
Keluarga besar Arya Pengalasan Pusat Bedulu Gianyar-Bali, Kamis tanggal
29 Desember 2011 melaksanakan Loka Sabha yang bertempat di Penataran
Jaba Tengah Merajan Agung Arya Pengalasan Pusat Bedulu-Gianyar, Loka
Sabha tersebut dihadiri oleh unsur-unsur pengurus Majelis periode
2006-2011, Pengurus Pusat dan Koordinator Wilayah seluruh Bali. Dalam
Loka Sabha ditetapkan tema "Melalui Loka Sabha Kita Tingkatkan Dharma
Agama dan Negara dengan Memantapkan Persatuan dan Kesatuan Keluarga
Besar Arya Pengalasan". Diharapkan melalui Loka Sabha tersebut persatuan
dan kesatuan dapat lebih ditingkatkan lagi di masa-masa yang akan
datang. Dengan memantapkan pelaksanaan Dharma Agama dan Dharma Negara.
Dalam
Loka Sabha tersebut juga dilakukan evaluasi terhadap pelaksanaan
program kerja 2006-2011 dan pertanggungjawaban pengurus lama selama lima
tahun. Di dalam Loka Sabha juga ditetapkan Ketua Umum Majelis Semeton
Arya Pengalasan yaitu ; Gusti Ngurah Roji dan Ketua Umum Pengurus Pusat
dijabat oleh Ir.Gusti Made Rena. Sebelumnya Ketua Umum Majelis dijabat
oleh Drs. Gusti Ketut Ngurah Widiarta M.Sc dan Ketua Umum Pengurus Pusat
dijabat oleh Gusti Ngurah Roji. Dengan terpilihnya pengurus Majelis dan
Pengurus Pusat akan dilanjutkan dengan penyusunan program kerja lima
tahun ke depan. Diharapkan dengan tersusunnya program kerja lima tahubn
ke depan. Diharapkan dengan tersusunnya pengurus baru periode 2012-2017
Keluarga Besar Arya Pengalasan dapat meningkatkan persatuan dan
kesatuan semeton serta dapat berperan aktif dalam melestarikan adat
istiadat, tradisi, dan agama serta kebudayaan di Bali
pedharman Sri Kresna Kepakisan- Pura Besakih

Asal Usul Arya Pengalasan di Zaman Kediri
Arya Pengalasan di Zaman Kediri bergerlar Arya Barak, Arya Buru , dan Arya Timbul
Arya pengalasan / arya Timbul juga bernama Arya Buru/ARYA Barak merupakan putra Prabu Erlangga Raja Agung Waton Mas di Jawa Timur. Pendiri Kerjaan Kediri di Kesohor.
Erlangga adalah putra Prabu Udayana hasil pernikahannya dengan Mahendradata, adik dari raja Dharmawangsa di Waton Mas, adik dari raja Dharmawangsa di Waton Mas yang memerintah Bali tahun 989-1010 berputra tiga orang masing-masing bernama,
Demikian akhirnya Raden Erlangga pergi ke Jawa untuk melangsungkan pernikahannya dengan putri raja Dharmawangsa, Dewi Killi Suci. Pada tahun 1016, dimana sedang dilaksanakan upacara pernikahan, tiba-tiba kerajaan Mataran diserang oleh pasukan musuh yang datang secara tiba-tiba, banyak yang meninggal dari kerajaan Mataram/ Waton Mas termasuk sang Raja Dharmawangsa.
Arya pengalasan / arya Timbul juga bernama Arya Buru/ARYA Barak merupakan putra Prabu Erlangga Raja Agung Waton Mas di Jawa Timur. Pendiri Kerjaan Kediri di Kesohor.
Erlangga adalah putra Prabu Udayana hasil pernikahannya dengan Mahendradata, adik dari raja Dharmawangsa di Waton Mas, adik dari raja Dharmawangsa di Waton Mas yang memerintah Bali tahun 989-1010 berputra tiga orang masing-masing bernama,
1* Raden Marakata
2* Raden Erlangga
3* Raden Anak Wungsu
Raja
Dharmawangsa di kerajaan Mataram Waton Mas sangat terkenal berkat
kekuasaaannya yang sangat luas sampai kesemananjung Malaka dan Kerajaan
Sriwijaya berada di bawah Kerajaan Mataram. Karena kekuasaan sangat luas
dan kuat daerah kerajaan terebut sangat dihormati oleh
kerajaan-kerajaan lainnya
Untuk
mendekatkan diri dengan kerajaan Bali, Raja Dharmawangsa meminta kepada
Raja Udayana agar Raden Erlangga dinikahkan dengan putrinya yang bernama
Killi Suci. Prabu Udayana tidak berkeberatan , karna ide tersebut
sangat baik untuk mengikat tali persaudaraan (dikutip: Babad Arya
Pengalasan, 2003:1,rah adi)
Demikian akhirnya Raden Erlangga pergi ke Jawa untuk melangsungkan pernikahannya dengan putri raja Dharmawangsa, Dewi Killi Suci. Pada tahun 1016, dimana sedang dilaksanakan upacara pernikahan, tiba-tiba kerajaan Mataran diserang oleh pasukan musuh yang datang secara tiba-tiba, banyak yang meninggal dari kerajaan Mataram/ Waton Mas termasuk sang Raja Dharmawangsa.
Patih Gaja Mada
PENGARUH GAJAH MADA DI BALI | for everyone |
" PENGARUH GAJAH MADA DI BALI"
By : Tommy Johan Agusta
Denpasar, Bali
Denpasar, Bali
Runtuhnya
Singosari dan beralih ke Majapahit dibawah kendali Raden Wijaya, masih
dapat mempersatukan wilayah bekas mertuanya. Ketika Majapahit dibawah
kendali Raja Jayanegara (Gajah Mada masih sebagai Bhayangkara), raja di
Bali yang diangkat adalah Sri Paduka Maharaja Batara Mahaguru. Setelah
mangkat digantikan oleh putranya bernama Sri Tarunajaya Walajaya
Kertadiningrat. Sesudah meninggal dunia, digantikan oleh adiknya yang
bernama Sri Astasura Ratna Bumi Banten. Tapi raja ini tidak mengakui
kedaulatan Majapahit padahal ayahandanya adalah kawula Majapahit. Sri
Astasura menyatakan Bedahulu, ”Beda” arti berbeda ”Hulu” artinya atasan,
sehingga dapat diartikan bahwa kala itu Bali tidak mengakui kedaulatan
Majapahit.
Di
Majapahit Jayanegara yang telah digantikan oleh Tribuwana Tunggadewi
serta mengangkat Mahapatih Gajah Mada, maka salah satu tujuan dalam
Sumpah Palapanya adalah kembali merengkuh Bali ke pangkuan Majapahit.
Kemarahan Tribuwana atas sikap Sri Astasura menurut beberapa tilik sandi
adalah karena Sri Astasura mempunyai Patih Kebo Iwa yang sakti
mandraguna. Maka Mahapatih Gajah Mada pun menyusun strategi untuk
menundukkan Bali
Ekspedisi Gajah Mada ke Bali
Ekspedisi
kedua dipimpin langsung oleh Gajah Mada untuk menggempur Bali dengan
kekuatan penuh, dibantu oleh Arya Sentong, Arya Kutawaringin, Arya
Beleteng, Arya Kenceng, Arya Pangalasan, Arya Kanuruhan, dan Arya Belog.
Dalam peperangan itu Raja Sri Astasura tewas bersama putra mahkotanya
Pangeran Madatama.
Para Arya itu menetap di Bali mulai di Gelgel, Tabanan, Kaba-kaba,
Kapal, Patemon, Mambal, Temukti, Bondalem disertai para pengikutnya.
Kelak para Arya yang menetap di Bali menjadi sesepuh di wilayahnya.
Untuk
sementara waktu Gajah Mada menunjuk I Gusti Agung Pasek Gelgel sebagai
raja Bali. Politik Gajah Mada yang cerdik menempatkan para putra
Danghyang Soma Kepakisan sebagai penguasa :
- Putra Sulung, Dalem Wayan di Blambangan
- Putra kedua, Dalem Made di Pasuruan
- Putri ketiga, Dalem Nyoman sebagai permaisuri di Sumbawa
- Putra Bungsu, Dalem Ketut sebagai Raja Bali
Dalem
Ketut ini bergelar Sri Aji Kresna Kepakisan, menurut Babad Pulasari
merupakan keturunan Mpu Barada. Sehingga dapat dikatakan bahwa Raja di
Bali yang mulai berkuasa tahun 1352 ini berasal dari kaum Brahmana.
Sedangkan sebagai patihnya Gajah Mada menunjuk putra Raja dari Kediri
Sri Sastrajaya dengan gelar Arya Kepakisan, yang merupakan keturunan
dari Raja Airlangga, sedangkan Airlangga adalah putra sulung Raja Bali
tahun 989-1001 Darma Udayana Warmadewa dengan Gunapriya Darmapadni atau
Mahendradatta yang putri Mpu Sindok dari Medang Kemulan. Hubungan
antara tanah Jawa dan tanah Bali menurut uraian diatas sangatlah dekat.
Dinasti yang berkuasa di Bali kala itu hingga saat ini tak dapat
dipungkiri merupakan putra-putra terbaik Majapahit.
Dengan
demikian peranan Mahapatih Gajah Mada baik dalam pemerintahan maupun
keagamaan sangat kental bagi Kerajaan Bali di masa Sri Aji Kresna
Kepakisan, dimana Majapahit selalu mengirimkan pemuka-pemuka agama ke
Bali.
Hingga saat ini banyak pengamat dalam bukunya mengatakan bahwa Bali
saat ini merupakan peninggalan Majapahit yang harus dilestarikan,
sebagai museum hidup budaya negeri ini.
Banyak Hal Mengenai Arya Pengalasan
- MUSEUM BALI dan PURA"
- Join.. Facebook : Sri Kresna Kepakisan
- Sejarah Babad Mojopahit
- Kumpulan Tattwa leluhur
- Silsilah Sri Nararya Kresna Arya Kepakisan
- Sejarah Arya Pengalasan (Sttidharma)
- Lokasi Merajan Kawitan Arya Pengalasan
- Arya Pengalasan di buku kan dalam bahasa Inggris
- Pura Tutuan Bale Pegat _ sejarah
- Topik Prasasti Tutuan Pura Buluh Face book
- Perbedaan Arya Kepakisan dengan Sri Kresna kepakisan
Sejarah singkat Arya Pengalasan
Arya
Pengalasan...Pengulasan sekilas sejarah masa lalu....mengenai Arya
pengalasan yang pada zaman dahulu benar-benar terjadi.... dan terbukti
oleh banyaknya prasasti yang ditemukan di Bali
DOWNLOAD KESENIAN, SASTRA DAN AGAMA DI BALI
SILSILAH KETURUNAN-KETURUNAN
Rabu, 09 Maret 2011
QUESTION/ PERTANYAAN:
Numpang
nanya, apa yang membedakan Arya Kepakisan dan Arya Sri Kresna
Kepakisan karena dua-duanya Kepakisan, mungkin serupa tapi tak sama.
ANSWER/ JAWABAN:
1.
Arya Kepakisan adalah salah seorang keturunan Airlangga, ketika itu
jabatan beliau adalah Panglima Perang/ pengawal Sri Kresna Kepakisan.
2.
Sri Kresna Kepakisan adalah Raja I di Bali berkedudukan di Samprangan/
Samplangan yang diangkat oleh Raja Majapahit ketika itu: Tribhuwana
Tunggadewi bersama patih agung Gajahmada. Beliau adalah keturunan Mpu
Bharaddah.
Nama Kepakisan berasal
dari pakis = paku = pacek artinya: pemimpin. Di Jawa Tengah dikenal
Paku: Pakubuwono, Pakualam; di Jawa Timur dikenal Pakis: Kepakisan. Di
Bali dikenal Pacek: Pasek
Sabtu, 29 Januari 2011
Arya Pengalasan Bali
Web Blog yang akan mengulas sejarah ...dan sebagainya mengenai Arya Pengalasan Bali
Arya Pengalasan
adalah salah satu panglima perang yang menyertai Gajah Mada ketika
menyerang/menaklukan Bali pada abad ke-14 (tahun 1343M).
Beliau bergelar Arya, sesuai dengan profesinya sebagai panglima perang
bersama para panglima lainnya dari Jawa Timur (Majapahit), yaitu Arya
Damar (Aditya Warman), Arya Kenceng, Arya Kutawaringin, Arya Gajahpara,
Arya Kanuruhan, Arya Petandakan, Arya Pamacekan, Arya Belog, Arya
Sentong, Arya Belencong, Arya Wangbang Kediri, Arya Wangbang Kahuripan,
Arya Kepakisan, Arya Tan Kawur, Arya Tan Mundur, dan Arya Tan Kobar.
Arya Pengalasan adalah tangan kanan Gajah Mada ketika menyerang Bali
dari arah barat, mulai dari Kediri, Watukaru, terus ke Tamblingan.
Setelah daerah-daerah itu dikuasai, maka Arya Pengalasan ditugaskan
menjaganya sebagai penguasa, berkedudukan di Penebel. Wilayahnya
mencakup seluruh Tabanan, Jembrana, dan Badung.
Langganan:
Entri (Atom)
Kresna

Arya Pengalasan Tirthayatra ke Pura Agung Gunung Raung Taro- Tegalalang- Gianyar

Baliho
- TIRTHA YATRA -
tirtha yatra - Pura Gunung Raung Taro
Tirhta yatra - patung lembu- di depan pura
Arya Pengalasan - Samuan Melukad di PUra Campuhan-Padanggalak-Denpasar

Melukad

Melukad di Pura Campuhan- Padanggalak- Denpasar

PENEMPATAN PARA ARYA DI BALI sepeninggalan Patih GAJAH MADA
Sebelum Patih Gajah Mada meninggalkan Pulau Bali, semua Arya dikumpulkan untuk diberikan pengarahan tentang pengaturan pemerintahan, ilmu kepemimpinan sampai pada ilmu politik “ Raja Sesana dan Nitipraja” yang mana tujuannya agar para Arya tersebut nantinya dapat mempersatukan dan mempertahankan Pulau Bali sebagai daerah kekuasaan Majapahit. Penempatan para arya diatur sebagai berikut :1. Arya Kenceng diberikan kekuasaan di daerah Tabanan dengan rakyat sebanyak 40.000 orang
2. Arya Kutawaringin diberikan kekuasaan di Gelgel dengan rakyat sebanyak 5.000 orang
3. Arya Sentong diberikan kekuasaan di Pacung dengan rakyat sebanyak 10.000 orang
4. Arya Belog diberikan kekuasaan di Kaba Kaba dengan rakyat sebanyak 5000 orang
5. Arya Beleteng diberikan kekusaan di Pinatih
6. Arya Kepakisan diberikan keuasaan di daerah Abiansemal
7. Arya Binculuk diberikan kekauasaan di daerah Tangkas
Demikianlah penempatan para Arya di Bali, setelah itu Patih Gajah Mada, Arya Damar dan Pasung Grigis kembali ke Majapahit dengan disertai 30.000 orang prajurit. Arya Damar telah meninggalkan Pulau Bali namun putra putra beliau yaitu Arya Kenceng, Arya Delancang dan Arya Tan Wikan (purana Bali dwipa lembar 11a) ditinggalkan di Bali untuk mengawasi Pulau Bali dari kemungkinan timbulnya pemberontakan dari orang orang Bali Aga.
Setelah menempuh 20 hari perjalanan sampailah Patih Gajah Mada dan rombongan di Majapahit dan langsung menghadap Ratu Tribhuwana Wijaya Tunggadewi untuk melaporkan hasil penyerbuan ke Pulau Bali yang berhasil dengan gilang gemilang. Sebagai tanda jasa maka semua Arya yang ikut serta dalam ekspedisi tersebut diberikan tanda jasa termasuk Ki Kuda Pengasih diangkat menjadi adipati di Pulau Madura.
DALEM KETUT SRI KRESNA KEPAKISAN
DALEM KETUT SRI KRESNA KEPAKISAN
( Adipati Bali I )
A. Silsilah Keturnan Sri Kresna Kepakisan
A. Silsilah Keturnan Sri Kresna Kepakisan
"Kepakisan" asal katanya "Pakis" berarti Paku. Gelar Kepakisan diberikan kepada Brahmana yang ditugasi sebagai Raja (Dalem) atau Kesatria. Gelar Kepakisan yang diberikan kepada Kesatria adalah: Sira-Arya Kepakisan. Beliau adalah keturunan Sri Jayasabha, berasal dari keturunan Maha Raja Airlangga, Raja Kahuripan (Jawa). Gelar "Paku" di Jawa pertama kali digunakan oleh Susuhunan Kartasura: Paku Buwono I pada tahun 1706 M.
diceritakan Mpu Wira Dharma berputra tiga orang yaitu: Mpu Lampita, Mpu Adnyana, Mpu Pastika. Selanjutnya Mpu Pastika berputra dua orang yaitu: Mpu Kuturan berasrama di Lemah Tulis dan Mpu Beradah pergi ke Daha serta menjadi pendeta kerajaan (bhagawanta) dari Raja Airlangga dan dikaitkan dengan cerita Calonarang yang amat terkenal di Bali. Kemudian Mpu Beradah berputra seorang yang bernama Mpu Bahula yang kemudian kawin dengan Ratnamanggali. Dari perkawinan ini lahirlah beberapa putra: Mpu Panawasikan, Mpu Asmaranatha, Mpu Kepakisan dan Mpu Sidimantra.
Akhirnya Mpu Panawasikan berputra: Mpu Angsoka, Mpu Nirartha. Mpu Kepakisan yang berputra empat orang yaitu: tiga putra dan seorang putri. Putra yang bungsu Mpu Kresna Kepakisan diangkat menjadi raja di Bali.
Dengan demikian Sri Kresna Kepakisan yang menjadi Raja di Bali adalah dari keturunan Brahmana yang kebangsawanannya diubah menjadi kesatrya atau dari Danghyang/ Mpu menjadi Sri.
B. Pengangkatan Dinasti Sri Kresna Kepakisan
Dalem Ketut kemudian bergelar Dalem Sri Kresna Kepakisan, mulai memimpin Pemerintahan Kerajaan Bali Dwipa pada tahun 1350 M atau 1272 isaka. Oleh penduduk Bali beliau disebut sebagai I Dewa Wawu Rawuh atau Dalem Tegal Besung. Dalam Perjalanannya dari Majapahit ke Pulau Bali rombongan dari majapahit mendarat di pantai Lebih, kemudian ke arah timur laut menuju Samprangan
Dalam pemerintahannya Dalem Sri Kresna Kepakisan didampingi oleh Arya Kepakisan/ Sri Nararya Kresna Kepakisan yang menjabat sebagai Patih Agung berasal dari Dinasti Warmadewa yang merupakan keturunan Raja atau Kesatrya Kediri. Sehingga baik Adipati maupun Patih Agungnya berasal dari satu desa yaitu desa Pakis di Jawa Timur sehingga setibanya beliau di Bali menggunakan nama yang hamper sama yaitu Adipatinya bergelar Dalem Ketut Kresna Kepakisan sedangkan patih agungnya bergelar Arya Kepakisan atau Sri Nararya Kresna Kepakisan
Dalam pemerintahannya dalem didampingi oleh Ki Patih Wulung yang menjabat sebagai Mangku Bumi. Ibu kota Kerajaan dipindahkan dari Gelgel ke Samprangan (Samplangan). Dipilihnya Daerah Samprangan karena ketika ekspedisi Gajah Mada, desa Samprangan mempunyai arti historis, yaitu sebagai perkemahan Gajah Mada serta tempat mengatur strategi untuk menyerang kerajaan Bedahulu. Dalam kenyataan menunjukkan bahwa jarak desa Bedahulu ke Samprangan hanya kurang lebih 5 km.
Dari Babad Dalem diketahui bahwa dalam menjalankan pemerintahan sebagai wakil dari Majapahit di Pulau Bali Dalem Sri Kresna Kepakisan dibekali dengan pakaian kebesaran kerajaan dan sebilah keris yang bernama Si Ganja Dungkul yang memberikan konsep kebudayaan yang memadukan kebudayaan Jawa dengan Bali, dan tanda-tanda kebesaran itu berfungsi sebagai symbol atau lambang kekuasaan yang sah.
Dalem Sri Kresna Kepakisan beristri dua, yaitu yang pertama:
Ni Gusti Ayu Gajah Para, merupakan putri dari Arya Gajah para melahirkan:
- Dalem Wayan (Dalem Samprangan)
- Dalem Di-Madia (Dalem Tarukan)
- Dewa Ayu Wana (putri, meninggal ketika masih anak-anak)
- Dalem Ketut (Dalem Ketut Ngulesir). I
Dari Istri yang kedua: Ni Gusti Ayu Kuta Waringin merupakan putri dari Arya Kutawaringin , melahirkan:
- Dewa Tegal Besung.
C. Sistem Pemerintahan
Masa pemerintahan Sri Kresna Kepakisan di Bali merupakan awal terbentuknya dinasti baru yaitu dinasti Kresna Kepakisan yang kemudian berkuasa di Bali sampai awal abad ke-20 (1908).
Beliau membawa pengaruh-pengaruh baru dari Majapahit termasuk para
bangsawan. Bangsawan baru ini merupakan kelompok elite yang menempati
status dan peranan penting atas struktur pelapisan masyarakat Bali. Hal
ini sekaligus menggeser kedudukan dan peranan bangsawan dari kerajaan
Bali Kuno.
Semasa pemerintahan Sri kresna Kepakisan di Samprangan diwarnai dengan pemberontakan-pemberontakan di desa-desa Bali Aga seperti: desa Batur, Cempaga, Songan, Kedisan, Abang, Pinggan, Munting, Manikliyu, Bonyoh, Katung, Taro, Bayan, Tista, Margatiga, Bwahan, Bulakan, Merita, Wasudawa, Bantas, Pedahan, Belong, Paselatan, Kadampal dan beberapa desa yang lain.
Atas peristiwa pemberontakan yang terus-menerus Dalem merasa putus asa dan mengirim utusan ke Majapahit, melaporkan bahwa Dalem tidak mampu mengatasi situasi di Bali. Untuk memecahkan persoalan ini, Gajah Mada memberikan nasehat kepada Kresna Kepakisan, serta simbul-simbul kekuasaan dalam bentuk pakaian kebesaran dan keris pusaka Ki Lobar disamping keris yang bernama Si Tanda Langlang yang terlebih dahulu belia bawa.
D. Sistem Kepemimpinan
Raja
yang dianggap sebagai penjelmaan dewa di dunia, memegang otoritas
politik tertinggi dan menduduki puncak hierarki kerajaan. Dalam
melaksanakan pemerintahan, raja dibantu sejumlah pejabat birokrasi. Para
putra dan kerabat dekat raja diberi kedudukan tinggi dalam jabatan
birokrasi. Para putra mahkota sebelum menjadi raja biasanya mereka
diberi kedudukan sebagai raja muda (Yuwaraja). Raja dibantu oleh suatu
lembaga yang merupakan dewan pertimbangan pada raja. Anggotanya ialah
para sanak saudara raja. Dalam kekawin Negara Kertagama disebut dengan nama Pahem Narendra
Jabatan yang lain ialah Dharma Dhyaksa ialah pejabat tinggi kerajaan yang bertugas menjalankan fungsi yurisdiksi keagamaan. Ada dua Dharma Dhyaksa yaitu Dharma Dhyaksa ring Kasaiwan untuk urusan agama Siwa, dan Dharma Dhyaksa ring Kasogatan untuk urusan agama Budha. Dalem Sri Kresna Kepakisan dalam menjalankan pemerintahannya di bantu oleh para Arya yang terlebih dahulu menetap di Bali yang kedatangannya bersamaan dengan ekspedisi Majapahit bersama Patih Gajah Mada juga dibantu para Arya yang menyertai perjalanan Dalem Sri Kresna Kepakisan dari Majapahit ke Bali.
Para arya tersebut diantaranya :
- Arya Kenceng mengambil tempat di Tabanan
- Arya Kanuruhan mengambil tempat di Tangkas
- Kyai Anglurah Pinatih Mantra di Kertalangu
- Arya Dalancang mengambil tempat di Kapal
- Arya Belog mengambil tempat di Kaba Kaba
- Arya Pangalasan
- Arya Manguri
- Arya Gajah Para dan adiknya Arya Getas mengambil tempat di Toya Anyar
- Arya Temunggung mengambil tempat di Petemon
- Arya Kutawaringin bertempat tinggal di Toya Anyar Kelungkung
- Arya Belentong mengambil tempat di Pacung
- Arya Sentong mengambil tempat di Carangsari
- Kriyan Punta mengambil tempat di Mambal
- Arya Jerudeh mengambil tempat di Tamukti
- Arya Sura Wang Bang asal Lasem mengambil tempat di Sukahet
- Arya Wang Bang asal Mataram tidak berdiam di mana-mana
- Arya Melel Cengkrong mengambil tempat di Jembrana
- Arya Pamacekan mengambil tempat di Bondalem
- Sang Tri Wesya: Si Tan Kober di Pacung, Si Tan Kawur di Abiansemal dan Si Tan Mundur di Cegahan
E. Kehidupan beragama
Mengenai
kehidupan beragama pada masa kerajaan Samprangan tidak begitu banyak
diketahui karena kerajaan Samprangan berlangsung tidak begitu lama yaitu
kurang dari setengah abad. Selain itu keadaan pemerintahan belum
stabil sebagai akibat munculnya pemberontakan pada desa-desa Bali Aga.
Agama yang dianut masyarakat pada masa ini adalah diduga Siwa-Budha, dimana dalam upacara-upacara keagamaan kedua pendeta itu mempunyai peranan yang penting.
Apabila ditinjau dari segi jumlah penganut dan pengaruhnya, agama Siwa tergolong lebih besar dari agama Budha, karena menurut sumber-sumber arkeologi agama Siwa berkembang lebih dulu dari agama Budha. Agama Siwa yang dipuja ketika ini adalah dari aliran Siwa-Sidhanta dengan konsep ke-Tuhanannya yang disebut Tri Murti yaitu tiga kemahakuasaan Hyang Widhi: Brahma, Wisnu, dan Siwa.
Ketiga Dewa Tri Murti tadi akhirnya dimanifestasikan ke dalam setiap desa adat di Bali yang terkenal dengan nama Pura Kahyangan Tiga, yaitu: Pura Desa/Bale Agung sebagai sthana dari Dewa Brahma, Pura Puseh sthana Wisnu dan Pura Dalem sthana Siwa. Selain pura-pura untuk pemujaan Hyang Widhi beserta manifestasinya juga terdapat tempat pemujaan untuk roh suci leluhur yakni Bhatara/Bhatari yang disebut: Sanggah/Pemerajan, Dadia/Paibon, Padharman.
Apabila ditinjau dari segi jumlah penganut dan pengaruhnya, agama Siwa tergolong lebih besar dari agama Budha, karena menurut sumber-sumber arkeologi agama Siwa berkembang lebih dulu dari agama Budha. Agama Siwa yang dipuja ketika ini adalah dari aliran Siwa-Sidhanta dengan konsep ke-Tuhanannya yang disebut Tri Murti yaitu tiga kemahakuasaan Hyang Widhi: Brahma, Wisnu, dan Siwa.
Ketiga Dewa Tri Murti tadi akhirnya dimanifestasikan ke dalam setiap desa adat di Bali yang terkenal dengan nama Pura Kahyangan Tiga, yaitu: Pura Desa/Bale Agung sebagai sthana dari Dewa Brahma, Pura Puseh sthana Wisnu dan Pura Dalem sthana Siwa. Selain pura-pura untuk pemujaan Hyang Widhi beserta manifestasinya juga terdapat tempat pemujaan untuk roh suci leluhur yakni Bhatara/Bhatari yang disebut: Sanggah/Pemerajan, Dadia/Paibon, Padharman.
Di Gelgel, semasa pemerintahan Ide Bethara Dalem Semara Kepakisan dibangun pula Pura Dasar Bhuwana yang disungsung oleh warga keturunan Ide Bethara Dalem Sri Kresna Kepakisan, Ide Bethara Mpu Gnijaya (Pasek Sanak Sapta Rsi), dan keturunan Ide Bethara Mpu Saguna (Maha Smaya Warga Pande).
Dalem Kresna Kepakisan adalah penganut sekte Waisnawa, mungkin saja dari Sub Sekte Bhagawata , mengingat nama kresna yangbelau pergunakan sehingga wajarlah beliau dikelilingi oleh para Bujangga Waisnawa, baik Bujangga Waisnawa yang di bali maupun yang menyertai Beliau dari Jawa.
F. Bidang Kesenian dan Kesusastraan
Kehidupan
seni budaya ketika itu telah berkembang dengan baik sebagai kelanjutan
perkembangan seni budaya jaman Bali Kuna abad 10-14 M. Ketika itu
masyarakat Bali telah mengenal beberapa jenis kesenian seperti: lakon
topeng, diman pada jaman Bali Kuna disebut dengan nama pertapukan.
Demikian pula tontonan wayang telah dikenal pada masa Bali Kuna yang disebut Parwayang. Seni tabuh telah pula dikenal dalam prasasti Bali Kuna disebut-sebut nama alat pemukul gamelan, tukang kendang, peniup seruling dan lain- lainnya Ketika masa Samprangan masyarakat Bali telah mengenal beberapa kitab kesusastraan yang berfungsi sebagai penuntun kejiwaan masyarakat, sehingga mereka dapat berbuat sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Beberapa kitab kesusastraan yang dikenal ketika masa Samprangan adalah: kesusastraan Calonarang, Bharatayuddha, Ramayana, Arjuna Wiwaha dan lain-lain.
Demikian pula tontonan wayang telah dikenal pada masa Bali Kuna yang disebut Parwayang. Seni tabuh telah pula dikenal dalam prasasti Bali Kuna disebut-sebut nama alat pemukul gamelan, tukang kendang, peniup seruling dan lain- lainnya Ketika masa Samprangan masyarakat Bali telah mengenal beberapa kitab kesusastraan yang berfungsi sebagai penuntun kejiwaan masyarakat, sehingga mereka dapat berbuat sesuai dengan ajaran-ajaran agama. Beberapa kitab kesusastraan yang dikenal ketika masa Samprangan adalah: kesusastraan Calonarang, Bharatayuddha, Ramayana, Arjuna Wiwaha dan lain-lain.
G. Akhir Pemerintahan Dalem Ketut Sri Kresna Kepakisan
Dalem Sri Kresna Kepakisan moksah pada tahun 1373 M atau 1295 isaka. Beliau digantikan oleh putranya yang tertua yaitu Dalem Wayan, bergelar Dalem Sri Agra Samprangan.
Mengenai " Pura Samuan Tiga- Bedulu-Gianyar"

Saksi Bisu Keindahan Hidup Bersama Masa Silam
Pura
Samuan Tiga adalah sebuah bangunan pemujaan bagi pemeluk agama Hindu
di Bali. Bangunan tersebut terletak di Desa Bedulu, Gianyar, yang telah
berdiri sejak masa-masa prasejarah. Hakekatnya, pura ini berfungsi
sebagai salah satu media pemujaan kepada kekuatan alam dan nenek moyang.
Dalam
Lontar (kitab Suci Weda) Tatwa Siwa Purana dalam lembar 11
menyebutkan, “Dan lagi semasa pemerintahan beliau Prabu Candrasangka
(Candrabhayasingha Warmadewa) membangun pura, antara lain Penataran
Sasih dan Samuan Tiga.”
Pada
saat-saat tertentu diadakan upacara-upacara ritual di Pura Samuan
Tiga. Di antara rangkaian ritual tersebut, umumnya dipertunjukkan
beberapa tarian, di antaranya; Nampyog Nganten, Siat Sampian, Sanghyang
Jaran Menginjak Bara, Mapelengkungan, Siat Pajeng, Pendet dan Bale
Pegat untuk menghilangkan berbagai ketidaksucian atau leteh. Pada saat
piodalan (semacam upacara syukuran), selalu diadakan suatu ritual agama
yang sangat menarik dan unik yang disebut ritual “Mesiat Sampian“.
Keunikan ritual ini bisa dilihat pada piodalan Pura Samuan Tiga pada
waktu Purnama Jehsta (Kesebelas).
Menurut
catatan sejarah, Pura Samuan Tiga dibangun pada Abad X dalam rangka
penerapan konsepsi keagamaan pada masa silam. Saat itu, setiap kerajaan
harus memiliki tiga pura utama. Untuk maksud tersebut, dibangunlah Pura
Gunung, dalam hal ini Pura Tirte Empul di Manukaya Tampaksiring, Pura
Penataran yang berada di pusat kerajaan yang tidak lain adalah Pura
Samuan Tiga, dan yang ketiga Pura Segara.
Samuan Tiga sebagai Refleksi Kebersamaan
Pusat
Pemerintahan di masa Bali Kuna berada di sekitar Desa Bedulu. Bukti
sejarah menunjukkan Bedulu sebagai lokasi penting kerajaan dengan
ditemukannya peninggalan arkeologi di desa tersebut. Di sinilah Pura
Samuan Tiga berdiri kokoh hingga kini. Secara etimologi, kata Samuan
Tiga merupakan gabungan dari kata Samuhan dengan kata Samuh yang
mempunyai arti pertemuan, musyawarah dan rapat. Tiga yang berarti pada
saat itu dihadiri oleh tiga pihak, jadi Samuan Tiga adalah pertemuan
yang dihadiri oleh tiga pihak atau tiga kelompok.
Pada
Lontar Dewa Purana Bangsul juga menyebutkan ”Pada masa itu ada lagi,
Kahyangan (tempat suci) yang bernama Kahyangan Samuan Tiga sebagai
tempat para Dewa-Dewata, Bahatar-Bhatari dan bagi para Resi (pendeta)
yang seluruhnya mengikuti musyawarah pada masa itu.” Hingga saat ini
bernama Pura Samuan Tiga.
Dari
Lontar tersebut menunjukan, pemberian nama Samuan Tiga terkait dengan
adanya suatu peristiwa penting yakni penerapan sistim musyawarah di
antara tokoh-tokoh masyarakat yang berkaitan dengan pemerintahan pada
masa Bali Kuna. Pada masa itu, kerajaan dipimpin oleh pasangan
suami-istri Udayana Warmadewa dan Gunapryadarmapatni (989–1011 M). Dalam
sebuah pertemuan kerajaan dicapai suatu kesepakatan untuk menerapkan
konsep Tri Murti pertama kalinya, yakni dengan terbentuknya pola Desa
Pakraman dengan Kahyangan Tiga. Kesepakatan itu diambil melalui suatu
musyawarah tokoh-tokoh agama Hindu di Bali. Keberhasilan pertemuan ini
tidak lepas dari peran Mpu Kuturan sebagai Pemimpin Lembaga bernama
Majelis Permusyawaratan Paripurna Kerajaan.
Perlu
dikemukakan juga bahwa pada masa itu sedang terjadi pertikaian antar
sekte keagamaan di masyarakat Bali Kuna. Siwa Sidanta merupakan sekte
yang sangat dominan. Perselisihan dipicu oleh klaim masing-masing sekte
yang mengatakan bahwa dewa-dewa tertentu yang mereka puja sebagai dewa
utama dengan simbol tertentu pula. Masing-masing penganut sekte itu
beranggapan dan berkeyakinan bahwa dewa utama merekalah yang paling
utama sedangkan yang lain lebih rendah.
Berkembangnya
keyakinan yang bersifat sektarian itu dipandang berpotensi memunculkan
ketegangan dan konflik dalam kehidupan sosial keagamaan. Untuk
mengantisipasi konflik ini terus berlanjut, Mpu Kuturan memperkenalkan
konsep Tri Murti dalam menyatukan semua sekte, dimana hanya ada tiga
dewa utama yaitu; Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa. Konsep ini
selanjutnya diterapkan dalam pola Desa Pakraman dengan pendirian Pura
Kahyangan Tiga (Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem) pada setiap desa.
Bagi setiap keluarga diterapkan pembangunan Sanggah Kemulan Rong.
Pola
pembangunan tiga pura di setiap desa ini kemudian menjadi bagian tak
terpisahkan dari kehidupan sosial keagamaan bagi masyarakat Bali hingga
hari ini, baik di Pulai Bali maupun di banyak tempat lain di tanah air.
(Disadur dari teks kiriman Dinas Pariwisata Kab. Gianyar – (Wilson
Lalengke)
Dari data teks tentang sejarah Bali kuno, pemberian nama Samuan Tiga terkait dengan adanya suatu peristiwa penting pada saat itu yaitu adanya musyawarah tokoh-tokoh penting dalam suatu sistem pemerintahan pada masa Bali Kuna. Pelaksanaan musyawarah para tokoh di Bali pada masa pemerintahan raja suami-istri Udayana Warmadewa bersama permaisurinya Gunapriyadharmapatni yang memerintah sekitar tahun 989 – 1011 Masehi.

Menyadari hal itu, raja suami-istri Gunapriyadharmapatni dan Udayana berusaha mengatasinya dengan mengundang tokoh-tokoh spiritual dari Bali dan Jawa Timur (Gunapriyadharmapatni adalah putri raja Makutawangsawardhana dari Jawa Timur) untuk mencari jalan keluar gejolak antar-sekte ini.
Pada waktu itu di Jawa Timur ada lima pendeta bersaudara yang sangat termasyur. Ke-lima pendeta bersaudara tersebut kerap dijuluki Panca Pandita atau Panca Tirta. Mereka adalah Mpu Semeru, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Gnijaya dan Mpu Bharadah. Empat di antara kelima pendeta tersebut didatangkan ke Bali secara berturut-turut, yaitu:
1. Mpu Semeru datang di Bali pada tahun saka 921 (999 M) berparhyangan di Besakih.
2. Mpu Ghana datang pada tahun saka 922 (1000 M) berparhyangan di Gelgel.
3. Mpu Kuturan datang pada tahun saka 923 (1001 M) berparhyangan di Silayukti, Padangbai.
4. Mpu Gnijaya datang pada tahun saka 928 (1006 M) berparhyangan di Lempuyang (Bukit Bisbis).
Mengingat pengalaman Mpu Kuturan yang pernah menjadi kepala pemerintahan di Girah dengan sebutan Nateng Girah, oleh Gunapriyadharmapatni diangkatlah beliau sebagai senapati dan sebagai Ketua Majelis Pakira-kiran I jro Makabehan.
Melalui posisi yang dipegang itu, Mpu Kuturan melaksanakan musyawarah bagi sekte keagamaan yang berkembang di Bali bertempat di Pura Penataran kerajaan. Pada masa itu, setiap kerajaan di Bali memiliki tiga pura utama: Pura Gunung, Pura Penataran (di pusat kerajaan) dan Pura Segara (laut). Musyawarah tersebut berhasil menyatukan semua sekte untuk penerapan konsepsi Tri Murti yaitu kesatuan tiga manisfestasi Tuhan (Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa) dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan. Konsepsi "three in one" ini berlaku di seluruh Bali dan menghapuskan dominasi satu sekte terhadap sekte lainnya –meskipun belakangan sekte Siwa Sidhantalah yang tampil dominan. Penyatuan ini serupa dengan apa yang dilakukan oleh Mpu Kuturan di Jawa dengan mendirikan Candi Loro Jonggrang (Prambanan) yang memuja Dewa Brahma, Wisnu dan Ciwa. Nah, untuk memperingati peristiwa penting tersebut Pura Penataran kerajaan tersebut diberi nama Pura Samuantiga.
Konsep Tri Murti yang diperkenalkan oleh Mpu Kuturan kemudian diterapkan dalam pola Desa Pakraman dengan pendirian pura Kahyangan Tiga yakni Pura Desa (Brahma), Pura Puseh (Wisnu) dan Pura Dalem (Siwa) pada setiap desa. Bagi setiap keluarga, diterapkan pembangunan Sanggar Kamulan Rong Tiga (tempat pemujaan dengan tiga pintu).
Silsilah keluarga / semeton Simpar Bedulu, Pacung, Samuan
Adanya leluhur dulu yang bernama I Gusti Gede Rawi yang konon tinggalnya
di Bedulu, kemudian memiliki dua orang anak yang pertama bernama I
Gusti Gede Libut dan yang kedua bernama I Gusti Md. Lodot. kemudian
karena pertikaian perebutan tanah, sang kakak I Gusti Gede Libut
mengungsi atau pergi merantau meninggalkan Bedulu menuju ke desa
Samuan-Petang, di sana dibahas bahwa mengajak dua orang anak dari hasil
pernikahan dengan Gst Ayu Md. Cangking, dan istrinya menikah dengan
adiknya sendiri, sang kakak dengan kedua orang anak yaitu I Gusti Nym.
Dubet, yang dibahas disini memiliki istri bernama Jro Ketut keted dari
desa banjar, kemudian memiliki anak bernama I Gst Putu Adur dan I Gusti
Md Tepung, sang kakak I Gst Putu Adur menikah dengan I Gst Ayu Md Anom
dan istri keduanya yaitu Jro Wayan Ratep, dan sang adik menikah dengan
Gst Ayu Putu Anom dari Pacung. sang kakak memiliki anak bernama I Gst
Putu Rijek, I Gst Ayu Md Riti, I Gst Ayu Nym Simpar, I Gst Ayu Ketut
Tinggal, I Gst Putu Mari, dan I Gst Md dulu.
1.I
Gusti Putu Rijek menikah dengan Gusti Ayu Nym Limun memiliki anak-anak
yang bernama I Gusti Ngr Oka Budhiyasa,SE, I Gusti Ayu Adiastawi, dan
Ir. I Gusti Ayu Ramudawi.
2.I Gusti Putu Mari menikah dengan Gst Ayu Pt. Balik dan memiliki anak 7 orang
3.I Gusti Md dulu memiliki 3 orang anak.
dan seterusnya hingga kini....
Upacara Padudusan Alit di Pura Samuan Tiga
Meski
hampir setiap hari terselenggara upacara di Bali, namun tak semua
pelancong yang ingin menyaksikan dari dekat suasana upacara itu dapat
menemuinya. Penyebabnya, selain karena waktu kunjungan yang tak pas,
juga karena samarnya info dalam kalender upacara di pura-pura penting di
Bali. Nah, bagi kamu yang melancong ke Bali sekitar tanggal 10 Mei
2009, mungkin menarik untuk mengunjungi Pura Samuan Tiga, Gianyar. Pada
tanggal itu, di pura Kahyangan Jagat (pura penting) Bali tersebut akan berlangsung upacara Padudusan Alit.
Upacara ini adalah upacara rutin yang dilaksanakan pada setiap Purnama Jiesta (Purnama ke-11) namun mengambil hari Pasah yang terdekat dengan saat bulan penuh tersebut. Pasah adalah perhitungan penanggalan Bali yang berulang dalam tiga hari sekali (tri wara). Karena itu, upacara Padudusan di Pura Samuan Tiga bisa berlangsung tepat saat bulan Purnama Jiesta, bisa juga sebelum atau sesudah Purnama Jiesta.
Upacara ini adalah upacara rutin yang dilaksanakan pada setiap Purnama Jiesta (Purnama ke-11) namun mengambil hari Pasah yang terdekat dengan saat bulan penuh tersebut. Pasah adalah perhitungan penanggalan Bali yang berulang dalam tiga hari sekali (tri wara). Karena itu, upacara Padudusan di Pura Samuan Tiga bisa berlangsung tepat saat bulan Purnama Jiesta, bisa juga sebelum atau sesudah Purnama Jiesta.
Rangkaian Upacara Pedudusan Alit Pura Samuan Tiga



TRADISI SIAT SAMPIAN
'Siat
sampian' atau perang sampian adalah salah satu tradisi Hindu Bali
tertua sakral yang dilakukan setiap tahun di kuil Tiga jahi di Gianyar. Dalam
perang ini, puluhan premas - atau wanita - jamaah untuk Dewa candi,
menyerang satu sama menggunakan pengaturan lain daun kelapa muda
(sampian) dalam keadaan hampir tak sadar pikiran. Setelah mereka, perang sampian yang sama juga dilakukan oleh tidak kurang dari tiga ratus parekan - atau orang - penggemar. Perang dan ritual yang terkait dimulai pukul 9 pagi. Ini tradisi lama lebih dari sebelas abad sangat unik dan tidak dapat ditemukan di bagian lain di Bali. Acara ini luar biasa untuk tahun ini diadakan pada hari Minggu, 14 Mei.
PURA- PURA di BALI hasil Riset Tokoh-Tokoh di BALI
![]() | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
![]() | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Pura > Pura Kahyangan Jagat > Pura Hyang Api Samuan Kangin | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
![]() | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
![]() | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Pura > Pura Kahyangan Desa > Pura Desa lan Puseh Desa Pakraman Samuan | ||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
|
Wacana tentang Bedahulu (Bedulu )Bedahulu dalam Kisah dan Tafsir
Beda-Hulu atau Bada-Hulu
Kebanyakan orang Bali, setidaknya mereka yang dekat dengan kisah Bali masa lalu, ![]() ![]() Tak hanya terkait dengan sisi politik kala itu, sosok Mayadenawa dan Bedahulu digeret pula pada konflik spiritual sehingga Mayadenawa tidak saja ditentang oleh raja tanah Jawa namun dihadapkan pula pada situasi pertentangan dengan para Dewa. Kisah yang melatarbelakangi tukad ![]() Kisah mudah ditulis, lakonpun gampang dipentaskan, namun tinggalan begitu banyak situs purbakala di wilayah juring dataran tinggi Tampak Siring hingga ke dataran Blahbatuh berbicara lain. Pura Tirta Empul, Gunung Kawi, Penataransasih, Kebo Edan, Rejuna Metapa, Gua Gajah, Samuan Tiga, Yeh Pulu, Canggi dan beberapa pura lainnya di kawasan tersebut dengan lugas membuktikan bahwa kawasan Tampak Siring, Pejeng dan Bedahulu (Bedulu) adalah kawasan yang kesehariannya lekat dengan spiritual. Sebagai wilayah pusat pemerintahan, kala itu, beberapa kalangan menafsir kata Bedulu bukan berasal dari kata Beda Hulu (yang diartikan bertentangan dengan pemimpin) tetapi dari kata Bada Hulu (yang diartikan sebagai tempat teratas atau pusat pemerintahan, bada-tempat, hulu-atas). Entah kata mana yang plesetan dan mana yang benar, kawasan Bedulu memang menyimpan banyak ceritera dan bukti peninggalan masa lalu (pra Majapahit) yang khas dan unik. Bedulu adalah sebuah catatan kebudayaan Bali yang hingga kini masih terjaga dibanding dengan era penerusnya seperti Samprangan, Gelgel dan Semarapura. |
Gambar Saat Sejarah Arya Pengalasan![]() Wono Giri (nama yang diberikan oleh Raden Erlangga
Pura Samuan Tiga
Jika menyisir keberadaan Bedulu dan Pura Samuan Tiga dari data teks tentang sejarah Bali masa lalu, Drs. I Wayan Patera, M.Hum, yang juga Klian Paruman Pura Samuan Tiga, dalam tulisannya tentang Pura Samuan Tiga mengutip lontar Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul terutama pada bagian yang menguraikan tentang Samuantiga, sebagai berikut: “….. ri masa ika hana malih kahyangan Samuantiga, ika maka cihna mwah genah i kang para Dewa-Dewata Bhatara-Bhatari mwah kang para Rsi ika makabehan paum duking masa ika, kang ingaranan pura Samuantiga ri mangke”Artinya: “….. pada masa itu ada lagi kahyangan (tempat suci) yang bernama kahyangan Samuantiga, itu sebagai tanda dan tempat dimana para Dewa dan Dewata, Bhatara-Bhatari dan lagi para Resi (pendeta) seluruhnya rapat (musyawarah) pada masa itu dinamai pura Samuatiga sampai sekarang” ![]() ![]() ![]() |
PURA GOA GAJAH - BEDULU- GIANYAR
Pura Goa Gajah salah satu
obyek wisata di bali, terletak di Desa Bedulu, Blahbatuh, Gianyar,
Bali, merupakan pusat Kerajaan Bali Kuna, dan salah satu situs
peninggalan sejarah di bumi nusantara, Goa Gajah lebih tepat disebut
pura, namun karena berbentuk goa, maka dinamai Goa Gajah. Jaraknya
dari Denpasar Kurang lebih 26 Km. Disana ada kios-kios kesenian dan
Rumah makan.
Pura ini di lingkupi oleh persawahan dengan keindahan ngarai sungai Petanu, sangat mudah dicapai karena ada pada jalur berada pada jalur wisata Denpasar – Tampaksiring – Danau Batur – Kintamani.
Pura ini di lingkupi oleh persawahan dengan keindahan ngarai sungai Petanu, sangat mudah dicapai karena ada pada jalur berada pada jalur wisata Denpasar – Tampaksiring – Danau Batur – Kintamani.

Kekunaan
disini bisa dilihat dari Peninggalan Purbakala. Di pelataran Pura Goa
Gajah terdapat Petirtaan Kuna 12 x 23 M2, terbagi atas tiga bilik.
Dibilik utara terdapat tiga buah Arca Pancuran dan di bilik Selatan
ada Arca Pancuran pula, sedangkan di bilik tengah hanya terdapat apik
arca. Di sekitar goa juga terdapat kolam pertitaan dengan tujuh patung
widyadara-widyadari yang sedang memegang air suci. Konon ketujuh
pancuran ini sebagai perlambang tujuh sungai penting yang sangat
dihormati di India. Kompleks goa dan tempat pemandian berada di
sebelah barat sungai Petanu.
![]() | ![]() |
Sedangkan
pada bagian sebelah timur dapat ditemukan goa alami dan jenis
patung-patung Budha serta pahatan-pahatan batu tebing yang sebagian
besar telah jatuh di pinggiran sungai yang juga akibat gempa bumi.
PURA TAMAN AYUN- MENGWI
ura taman Ayun ini terletak di Desa
Mengwi sekitar 18 kilometer barat laut kota Denpasar dan merupakan
salah satu dari pura-pura yang terindah di Bali.
Pura Taman Ayun adalah Pura lbu (Paibon) bagi kerajaan Mengwi. Setiap 210 hari tepatnya setiap "Selasa Kliwon Medangsia" (Menurut perhitungan tahun Saka) segenap masyarakat Mengwi merayakan piodalan selama beberapa hari memuja Tuhan dengan segala manifestasinya.
Pura ini hancur karena gempa bumi hebat yang terjadi pada tahun 1917 dan tidak sempat dipugar hingga tahun 1950. Candi bentar dan tugu yang tingginya mencapai 16 meter di halaman bagian dalam Pura tersebut dibangun sesuai arsitektur Jawa, sedangkan candi yg kecil berupa tempat duduk dari batu berjumlah 64 buah merupakan tugu leluhur jaman megalitikum untuk mengenang para ksatria yang gugur dalam perang.
Pura Taman Ayun
Dihiasi oleh meru - meru yang menjulang tinggi dan megah diperuntukkan
baik bagi leluhur kerajaan maupun bagi para Dewa yang bestana di
Pura-pura lain di Bali.
Halaman pura ditata sedemikian indah dan dikelilingi kolam ikan yang dibangun tahun 1634 oleh Raja.Mengwi saat itu I Gusti Agung Anom.
Halaman pura ditata sedemikian indah dan dikelilingi kolam ikan yang dibangun tahun 1634 oleh Raja.Mengwi saat itu I Gusti Agung Anom.
![]() |
Pura Taman Ayun adalah Pura lbu (Paibon) bagi kerajaan Mengwi. Setiap 210 hari tepatnya setiap "Selasa Kliwon Medangsia" (Menurut perhitungan tahun Saka) segenap masyarakat Mengwi merayakan piodalan selama beberapa hari memuja Tuhan dengan segala manifestasinya.
![]() | ![]() |
Pura ini hancur karena gempa bumi hebat yang terjadi pada tahun 1917 dan tidak sempat dipugar hingga tahun 1950. Candi bentar dan tugu yang tingginya mencapai 16 meter di halaman bagian dalam Pura tersebut dibangun sesuai arsitektur Jawa, sedangkan candi yg kecil berupa tempat duduk dari batu berjumlah 64 buah merupakan tugu leluhur jaman megalitikum untuk mengenang para ksatria yang gugur dalam perang.
HISTORY "KERAJAAN BEDULU "
SEJARAH KERAJAAN BEDULU
Sejarah Berdirinya Kerajaan Bedahulu
Pada abad ke-4 di Campa, Muangthai bertahta Raja Bhadawarman. Beliau diganti oleh anaknya bernama Manorathawarman, selanjutnya Rudrawarman. Anak Rudrawarman bernama Mulawarman merantau, mendirikan kerajaan Kutai. Mulawarman diganti Aswawarman. Anaknya bernama Purnawarman mendirikan kerajaan Taruma Negara. Anak Purnawarman bernama Mauli Warmadewa mendirikan kerajaan Sriwijaya. Anak Mauli Warmadewa bernama Sri Kesari Warmadewa pergi ke Bali, pertama-tama mendirikan Pura Merajan Salonding dan Dalem Puri di Besakih. Raja-raja Bedahulu :
- Sri Wira Dalem Kesari Warmadewa - (882-913)
- Sri Ugrasena - (915-939)
- AgniTabanendra Warmadewa
- Candrabhaya Singa Warmadewa - (960-975)
- Janasadhu Warmadewa
- Sri Wijayamahadewi
- Dharmodayana Warmadewa (Udayana) - (988-1011)
- Gunapriya Darmapatni (bersama Udayana) - (989-1001)
- Sri AjnadewiSri Marakata - (1022-1025)
- Anak Wungsu - (1049-1077)
- Sri Maharaja Sri Walaprabu - (1079-1088)
- Sri Maharaja Sri Sakalendukirana - (1088-1098)
- Sri Suradhipa - (1115-1119)
- Sri Jayasakti - (1133-1150)
- RagajayaSri Maharaja Aji Jayapangus - (1178-1181)
- Ajayadengjayaketana
- Aji Ekajayalancana
- Bhatara Guru Sri Adikuntiketana
- Parameswara
- Adidewalancana
- Mahaguru Dharmottungga Warmadewa
- Walajayakertaningrat (Sri Masula Masuli atau Dalem Buncing?)
- Sri Astasura Ratna Bumi Banten (Dalem Bedahulu) - (1332-1343)
- Dalem Tokawa (1343-1345)
- Dalem Makambika (1345-1347)
- DalemMadura
PEMERINTAHAN SRI ASTASURA RATNA BUMI BANTEN
Dikisahkan pada tahun 1337 raja Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten / Sri Gajah Waktera / Sri Topolung mulai berkuasa di Pulau Bali, beliau sangat bijaksana serta adil dalam mengendalikan pemerintahan dan taat dalam melaksanakan upacara keagamaan., beliau terkenal sebagai seorang pemberani serta sangat sakti. dalam pemerintahannya beliau mengadakan pergantian sejumlah pejabat pemerintahan antara lain :
- Kesenepatian Kuturan yang dijabat Ki Dalang Camok diganti oleh Ki Mabasa Sinom
- Kesenepatian Danda yang dijabat Ki Kuda Langkat-Langkat diganti oleh Ki Bima Sakti
- Dibentuk kesenepatian baru yaitu Kesenepatian manyiringin di pegang oleh Ki Lembu Lateng.
- Perutusan Siwa rajamanggala yang dulu tinggal di Dewastana kini digeser ke Kunjarasana.
- Perutusan Pendeta Siwa Sewaratna yang dulu tinggal di Trinayana kini dipindahkan ke Dharmahanyar.
- Dang Upadyaya Pujayanta yang dijabat Pendeta di Biharanasi diganti oleh Pendeta Dang Upadyaya Dharma.
- Dibentuk pejabat Makarun di Hyang Karamus yang dipagang oleh Ki Panji Sukaningrat.
- Dibentuk 2 buah perutusan yaitu di Burwan yang dipegang oleh Sira Mahaguru dan di Buhara Bahung yang dipegang oleh Dang Upadyaya Kangka.
- Krian Pasung Grigis jabatan Mangkubumi di Tengkulak
- Ki Kebo Iwa jabatan Patih di
- Ki Girikmana jabatan Menteri di Desa Loring Giri Ularan (Buleleng)
- Ki Tambiak jabatan Menteri di desa Jimbaran
- Ki Tunjung Tutur jabatan Menteri di desa Tenganan
- Ki Buahan jabatan Menteri di desa Batur
- Ki Tunjung Biru jabatan Pertanda di desa Tianyar
- Ki Kopang jabatan Pertanda di desa Seraya
- Ki Walungsari jabatan Pertanda di desa Taro.
- Ki Gudug Basur jabatan Tumenggung
- Ki Kalambang jabatan Demung
- Ki Kalagemet jabatan Tumenggung di Desa Tangkas
- Ki Buahan di Batur
- Ki Walung Singkal di Desa Taro
Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten adalah seorang penganut agama Budha yang taat terbukti pada tahun 1338 M beliau banyak mendirikan tempat tempat suci agama Budha. Dalam melaksanakan ibadah keagaman beliau sering melaksanakan persembahyangan di Pura Besakih dengan didampingi para Mentri dan pendeta Siwa-Budha.
Keadaan yang berlangsung aman dan tentram tersebut tiba tiba terancam karena sikap dari Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang menentang dan tidak bersedia tunduk dibawah kekuasaan Ratu Majapahit Tribhuwana Wijayatunggadewi, meskipun beliau adalah keturunan Majapahit. Alasan Beliau bersikap demikian karena Bali sudah dari dahulu dibawah lindungan kerajaan Daha.
Hubungan antara Kerajaan Bali dan Kerajaan Daha sudah berlangsung sejak pemerintahan Raja Putri Ganapriya Dharmapatni yang memerintah Bali tahun 989-1001 M. Karena hubungan inilah maka Bali mengadakan perlawanan terhadap kerajaan Singhasari, tahun 1222 M , namun Bali baru dapat ditaklukkan pada tahun 1284 oleh Prabu Kertanegara. Selanjutnya karena runtuhnya kerajaan Singhasari oleh Jayakatwang tahun 1292 maka Bali kembali menjadi pengawasan Kerajaan Daha. Pada Tahun 1293 Kerajaan Daha mengalami keruntuhan karena serangan oleh Kerajaan Majapahit sehingga Bali langsung dikuasai oleh Raja Majapahit.
Keputusan Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten untuk menetang Majapahit tercetus dalam rapat dengan para menterinya dimana Keputusan tersebut akibat pengaruh dari Menteri Pertahanan (Senapati danda) yang bernama Ki Bima Sakti yang di Majapahit terkenal dengan nama Werkodara.
Adapun politik pemerintah Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten sekarang sungguh sangat berbeda dibandingkan yang sudah sudah, bahkan beliau sekarang bersikap membangkang dan tidak menghiraukan perintah-perintah dari Majapahit. Karena sikap beliau tersebut maka beliau dijuluki Raja Bedahulu, “Beda” artinya berbeda (pendapat) dan “Hulu” berarti atasan. Tegasnya raja ini melepaskan diri dan tidak mau tunduk dibawah kekuasaan Majapahit sebagai atasan yang dulu mengangkatnya. Sikap dan prilaku Raja ini didengar oleh Ratu Majapahit karena itu Ratu Tribhuwana Tunggadewi menjadi marah besar sehingga beliau merencanakan untuk mengirim pasukan besar ke Bali dibawah pimpinan Patih Gajah Mada dan panglima Arya Damar (Adityawarman)
Untuk lebih jelasnya bahwa Raja Bali diangkat oleh Singhasari dan Majapahit dapat diuraikan sebagai berikut :
Setelah akhir pemerintahan Raja Kembar Mahasora dan Mahasori atau yang lebih dikenal dengan Raja Masula Masuli yang menjadi Raja Bali adalah Sri Hyang Ning Hyang Adidewa Lencana (tahun 1260 -1286 M) . Pada masa pemerintahan raja ini, Bali diserang dan dikuasai oleh Kerajaan Singhasari dibawah kepemimpinan Raja Kertanagara. Raja Adidewa Lancana kemudian ditangkap dan dibawa ke Singhasari tahun 1286 M. Sejak itulah Bali menjadi kekuasaan kerajaan Singhasari.
Dengan dikuasainya Bali oleh Singhasari maka pengangkatan raja raja Bali selanjutnya dilakukan oleh Raja Singhasari. Namun Demikian karena Kerajaan Singhasari runtuh akibat Penyerangan dari Prabu Jayakatwang yang menyebabkan Prabu Kertanagara Gugur maka selanjutnya pengangkatan raja Bali dilakukan oleh Majapahit yang merupakan penerus dari kerajaan Singhasari.
Raja Bali pertama yang diangkat oleh Prabu Kertanagara adalah Ki Kryan Demung yang berasal dari Jawa timur yang kemudian digantikan oleh putranya Ki Kebo Parud. Berikutnya yang menjadi raja Bali adalah Sri Paduka Maharaja Batara Mahaguru ( 1324-1328 M). Beliau diangkat oleh Raja Majapahit yaitu Prabu Jayanegara/ Kalagemet. Yang menggantikan beliau adalah putranya sendiri yaitu Sri Tarunajaya dengan gelar Sri Walajaya Kertaningrat (1328-1337 M). Sesudah beliau meninggal dunia, maka digantikan oleh adiknya yaitu Sri Astasura Ratna Bumi Banten yang berarti Raja yang berkuasa (1337-1343 M)
Mitos Tentang Raja Bedulu
Suatu hari, Raja Sri Tapolung, Raja Bali Kuno terakhir, bertamasya ke daerah Batur diiringi patih Ki Pasung Grigis. Tiba di Panelokan, sang raja diuji oleh sang patih. “Paduka, jika paduka benar sakti dan dapat melepaskan jiwa dari raga, mohon tunjukkanlah pada hamba!” kata Ki Pasung Grigis. Permohonan Ki Pasung Grigis dikabulkan. Sang raja pun bersemadi. Beberapa saat kemudian, kepala sang raja lepas dari raganya. Kepala Sri Tapolung diceritakan melesat ke surga. Ki Pasung Grigis kini hanya menghadapi badan rajanya tanpa kepala.
Setelah lewat tiga hari, kepala Sri Tapolung belum kembali juga. Ki Pasung Grigis mulai khawatir. Kebetulan saat itu ada seekor babi lewat. Babi itu pun dipenggal dan kepala babinya itu disatukan dengan raga Sri Tapolung. Tak dinyana, beberapa saat kemudian kepala Sri Tapolung kembali. Mengetahui kepalanya diganti dengan kepala babi, sang raja pun murka dan mengutuk orang-orang Bali Aga. Karena berkepala babi, sang raja kemudian dijuluki Bedahulu atau Bedamuka (beda kepala).Mitologi ini masih tertanam kuat di kalangan masyarakat Bali hingga kini.
Mitos raja berkepala babi ini memang kerap diceritakan sebagai dongeng atau pun cerita dalam suatu pementasan drama tradisional. Penikmat teks kemudian menginterpretarikan cerita Raja Bedahulu ini secara lebih kritis. Cerita raja berkepala babi ini dipersepsikan sebagai simbolisasi dari sikap Raja Bali Kuno terakhir itu yang tidak mau mengakui supremasi kekuasaan Majapahit. Sang raja ingin menempatkan Bali sebagai kerajaan berdaulat dan merdeka, terbebas dari cengekeraman kekuasaan luar.
Interpretasi ini kemudian didukung dengan hasil penelitian para sejarawan dan arkeolog. Dalam sejumlah sumber-sumber Bali Kuno, Raja Sri Tapolung disebut-sebut sebagai raja yang kuat, bervisi, disegani dan dihormati rakyatnya. Raja ini diberi gelar sebagai Sri Asta Sura Ratna Bhumi Bhanten, penguasa Bali yang memiliki delapan kekuatan dewa. Sikap inilah yang dipandang Majapahit berbahaya bagi ambisi kerajaan itu menguasai Nusantara. Karenanya, Bali kemudian dijadikan target utama untuk ditundukkan. Melalui tipu muslihat sang patih Gajah Mada, Bali berhasil ditaklukkan.
Penaklukan oleh Majapahit tidak serta merta membuat rakyat Bali Kuno mengakui kekuasaan Majapahit di Bali. Malah sebaliknya, gelombang perlawanan tiada surut di pulau mungil ini. Hingga akhirnya terjadi negosiasi politik antara penguasa Majapahit dengan orang-orang Bali Aga untuk memadamkan perlawanan. Namun, Majapahit tampaknya menyadari benar, kecintaan rakyat Bali terhadap rajanya yang terakhir masih sangat dalam.
Sisa peninggalan Kerajaan Bedulu
Perlawanan kerajaan Bedulu terhadap Majapahit oleh legenda masyarakat Bali dianggap melambangkan perlawanan penduduk Bali asli (Bali Aga) terhadap serangan Jawa (Wong Majapahit). Beberapa tempat terpencil di Bali masih memelihara adat-istiadat Bali Aga, misalnya di Desa Trunyan, Kecamatan Kintamani Kabupaten Bangli, Desa Tenganan Kec. Manggis Kabupaen Karangasem serta di desa-desa Sembiran, Cempaga Sidatapa, Pedawa, Tiga Was, dan Padangbulia di Kabupaten Buleleng .
Beberapa obyek wisata yang dianggap merupakan peninggalan kerajaan Bedulu, antara lain adalah pura Jero Agung, Samuan Tiga, Goa Gajah, dan Pura Bukit Sinunggal.
Kawasan Bedahulu dan Pejeng di utara Gianyar tercatat dalam sejarah sebagai pusat pemerintahan sebelum jaman Majapahit sedangkan Samplangan di timur Gianyar adalah pusat pemerintahan saat awal kekuasaan Majapahit merangkul Bali.
Goa Gajah baru ditemukan kembali pada tahun 1923. Walaupun Lwa Gajah dan Bedahulu, yang sekarang menjadi Goa Gajah dan Bedahulu, telah disebutkan di dalam kitab Nagarakertagama ditulis pada tahun 1365 M. Pada tahun 1954, ditemukan kembali kolam petirtaan di depan Goa yang kemudian disusul dengan pemugaran dan pemasangan kembali area-area pancuran yang semula terletak di depan Goa dalam keadaan tidak lengkap.
Kekunoan Pura Goa Gajah dapat dibagi menjadi dua bagian. LokasiPura Goa Gajah yang dikalangan penduduk setempat lebih dikenal dengan nama Pura Goa, terletak disebelah barat desa Bedahulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Daerah Tingkat II Gianyar, kira-kira 27 Km dari Denpasar.
Di dinding Goa terdapat juga prasasti singkat yang berbunyi “Kumon” dan “sahywangsa”, yang menurut tipe hurufnya diduga berasal dari abad 11 M. Di sebelah barat Goa, di dalam sebuah bangunan terdapat sebuah arca jongkok, Ganesa dan arca Men Brayut yang di dalam mitologi agama Budha dikenal sebagai Hariti, penyelamat anak-anak.
Tengkorak Itu Keluarga Raja Bedahulu?
Tim arkeologi terus melakukan galian di areal ditemukan tengkorak oleh warga Banjar Batulumbang, Bedulu, Blabahtuh. Penggalian hingga sembilam titik hingga Selasa (29/6) kemarin kian bertambah jumlah benda prasejarah ditemukan. Selain pernak-pernik, juga ditemukan tembok dari batu bata khas Majapahit. Dugaan sementara di sanalah pusat kerajaan Raja Bedahulu yang selama ini misterius.
Tengkorak itu kemungkinan salah satu bagian kerangka keluarga Raja Bedahulu. Namun perlu dikaji lebih lanjut. Arah penelitian arkeologi kami memang ke pengungkapan misteri letak pusat kerajaan Bedahulu.
Yang bisa disimpulkan sementara, berdasarkan temuan pernak-pernik benda prasejarah seperti gerabah, pecahan stupa, kapak batu, perunggu dan manik-manik, di lokasi itu pernah ada aktivitas manusia prasejarah. Sedangkan pondasi tembok yang lebarnya 1,5 meter, diperkirakan bagian dari tembok Puri Raja Bedahulu.
Diakui selama ini di wilayah Bedulu banyak ditemukan peninggalan raja Bedahulu. Namun belum ditemukan lokasi pusat kerajaannya. Dikaitkan dengan tradisi yang dianut warga setempat, baginya, kemungkinan besar lokasi galian itulah pusat kerajaan Bedahulu sebelum runtuh lalu dikuasai Majapahit sekitar tahun 1343. Lokasi galian itu sejak leluhur warga Batulumbang dikenal sangat angker.
Tak ada warga berani bicara ngawur di sana. Wanita yang menstruasi menghindari melintas dan jangan coba-coba buang air (kencing/berak). Yang melanggar dipastikan linglung tak tahu jalan pulang, jelasnya seraya menyebut sejumlah nama warga yang pernah jadi korban. Bukti kuat itu lokasi kerajaan, sebut Oka Astawa, nama Pura Jero Agung bersebelahan dengan lokasi temuan. Sedangkan subak selatan pura itu disebut Subak Delod Jero. Bukti lain kekhasan upacara di Pura Jero Agung mendak Betara Jawa dan menaikkan damar kurung* di atas penjor. Konon sinar damar kurung itu bisa dilihat dari Jawa. Sedangkan bagian akhir upacara menghaturkan daging ayam jantan yang kalah diadu. Itu simbolis dari runtuhnya Bedahulu oleh Majapahit.
TENGANAN PEGERINGSINGAN
Sejarah:Tenganan merupakan salah satu dari beberapa desa kuno di Bali, yang biasanya disebut "Bali Aga". Ada beberapa versi tentang sejarah tentang desa Tenganan. Ada yang mengatakan kata Tenganan berasal dari kata "tengah" atau "ngatengahang" yang berarti "bergerak ke daerah yang lebih dalam". Penurunan kata ini berhubungan dengan pergerakan orang-orang desa dari daerah pinggir pantai ke daerah pemukiman, dimana posisi desa ini adalah di tengah-tengah perbukitan, yakni Bukit Barat (Bukit Kauh) dan Bukit Timur (Bukit Kangin).
Versi lain mengatakan bahwa orang-orang Tenganan berasal dari Desa Peneges, Gianyar, tepatnya Bedahulu. Berdasarkan cerita rakyat, dulu Raja Bedahulu kehilangan salah satu kudanya. Orang-orang mencarinya ke Timur dan sang kuda ditemukan tewas oleh Ki Patih Tunjung Biru, tangan kanan sang raja. Atas loyalitasnya, sang raja memeberikan wewenang kepada Ki Patih Tunjung Biru untuk mengatur daerah itu selama aroma dari I carrion kuda tercium. Ki Patih seorang yang pintar, is memotong carrion menjadi potongan-potongan dan menyebarkannya sejauh yang dia bisa lakukan. Dengan demikian dia mendapatkan daerah yang cukup luas.
Kata Pegeringsingan diambil dari kata "geringsing". Geringsing adalah produk tenun tradisional yang hanya dapat ditemukan di Tenganan. Gerinsing dianggap sakral yakni menjauhkan kekuatan magis jahat atau black magic. Geringsing diturunkan dari kata "gering" yang berarti sakit dan "sing" yang berarti tidak.
Lokasi:Tenganan Pegeringsingan terletak di Kecamatan Manggis, sekitar 65 km dari Denpasar (Bandar Udara Internasional Bali), dekat dengan Candidasa . Dalam Kerajaan Bali Kuno, ditanah inilah Ki Patih Tunjung Biru memperoleh kuasa sebagai menteri kerajaan. Masa itu, Bali dipimpin oleh putra Shri Musala Masuli yang bernama Shri Gajah Waktra dengan gelar Dalem Bedahulu atau Sri Astasura Ratna Bumi.
Dengan kesaktian dan kebijaksanaannya, Bali pada waktu itu diperintah dengan adil dan tenteram. Dalam pemerintahannya, beliau dibantu para menteri yang patuh memegang perintah sang raja, disiplin, dan sakti mandraguna.Diantaranya Ki Pasung Grigis sebagai mahapatih berkuasa di Tengkulak Ki Kebo Iwa sebagai patih muda berkedudukan di Blahbatuh, Ki Tunjung Tutur mengambil tempat di Tianyar, Ki Tunjung Biru berada di Tenganan, Ki Tambyak di Jimbanan, Ki Buan di Batur, Ki Kopang di Seraya, Ki Walung Singkal di Taro. Para menteri inilah yang selalu menjaga tanah Bali.
Dari sinilah timbul cerita bahwa orang-orang Tenganan berasal dari Bedahulu, Gianyar. Suatu kali, raja Dalem Bedahulu kehilangan salah satu kuda kesayangannya. Di manakah kuda itu meringkik? Raja berniat hati agar kuda itu ditemukan. Maka diperintahlah orang-orang Bedahulu untuk mencarinya ke timur Bali di bawah pimpinan Ki Patih Tunjung Biru. Di tanah inilah pada akhirnya kuda itu ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa oleh Ki Patih. Atas kerja keras dan kesetiaan Ki Tunjung Biru maka sang raja memberikan wewenang untuk mengatur dan menguasai daerah tempat kuda itu ditemukan.
Wilayah yang bisa dikuasai sejauh aroma bangkai kuda itu bisa tercium. Berkat kepintaran Ki Patih, dipotong-potonglah bangkai kuda itu dan disebarkan sejauh mungkin sehingga sang menteri kerajaan bisa mendapatkan daerah kekuasaan yang cukup luas.Tengananpun menjadi tempat kekuasaan Ki Patih Tunjung Biru hingga masa ekspedisi Gajah Mada ke Bali. Dimanakah Ki Tunjung Biru membakar semangat laskar perang Bali Aga ketika Gajah Mada menyerang Bali? Di sini di tengah-tengah bukit Tenganan kupercayai Ki Tunjung Biru gugur sebagai ksatria sejati melawan serangan pasukan Majapahit dari pintu gerbang timur Pulau Bali.
Jika aku Tenganan, kudapati pandan-pandan itu tengah berduri. Meruncing pada tepi-tepi daunnya yang menyirip hijau. Siapakah yang menjadikan pandan-pandan itu tumbuh menyuburi Pageringsingan? Kupercayai ini sudah menjadi titah Dewa Indra sebagai dewa tertinggi dalam dunia peperangan. Di tanah Tenganan Dewa Indra selalu dihormati dengan ritual Perang Geret Pandan. Warga percaya bahwa mereka adalah keturunan ksatria perang dari tanah suci India. Setajam apakah duri-duri itu akan menggeret kulit tubuhmu? Setajam hatimu untuk selalu menjaga tradisi perang yang penuh dengan kedamaian itu.
Nah, duri-duri itu telah lama menunggumu untuk beryuda di atas arena perang tradisional. Juga tameng ata (sejenis tumbuhan pakis yang merambat) itu, bukankah telah lama merindukannya? Perisai yang akan melindungimu nanti dari geretan duri pandan lawan. Sudah siapkah dirimu bersetubuh dengan duri-duri itu?
Pada sasih kelima tepat di Hari Raya Sambah perang pandan kembali berkobar. Arena yang selalu jadi riuh itu telah menanti laki-laki pemberani sebagai laskar ksatria perang. Di arena perang itulah, pemuda-pemuda Tenganan akan membuktikan bahwa raga dan jiwa mereka betul-betul kuat mempertahankan tradisi yang telah berurat-akar. Tajamnya duri pandan Tenganan tak lalu membuatnya jadi takut jika menghujani punggungnya yang menegak matahari. Sakitkah ketika duri-duri itu menggeret kulit punggungnya? Gepokan daun pandan berduri itu akan menjadi saksi bahwa tubuhmu betul-betul kuat menahan sakit dan perih sesaat. Jikapun punggungnya itu nanti berdarah tak lalu membuatnya meringis kesakitan. Mereka kini tahu, keteguhan hatinya betul-betul diuji di laga perang.
Semangat akan makin menyala untuk menggores punggung lawan ketika tahu bajang-bajang dari celah jendela di atas rumah panggung itu memberinya sorak dalam senyum yang menggoda. Siapakah yang akan mencabuti duri-duri itu pada punggungnya yang memerah? Ketika duri-duri itu dicabuti satu per satu, tarian perang pun telah usai. Perang pandan selalu berakhir dengan damai. Bagiku tak ada yang menang tak ada yang kalah.
Pura Agung Gunung Raung Penyegjeg Jagat

Teks dan Foto I G N Widnyana, SE
Pura Gunung Raung merupakan salah satu Pura Kahyangan Jagat di Desa Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar.
Jika anda mengenal Ubud, maka Pura ini terletak di sebelah Utara Ubud. Pura ini dibangun berkat kehendak seorang rsi bergelar Maharsi Markandeya. Awalnya Rsi Markandeya berkeinginan untuk mengembara melanglang buana, dan beliau pergi ke Gunung raung di Jawa Timur. Di sanalah beliau melakukan tapa semadi untuk menyucikan diri.
Saat bertapa, beliau mendapatkan sabda dari Sang Hyang Jagatnatha agar beliau pergi ke arah timur menuju Balipulina. Namun dalam perjalanan kali ini, banyak murid-murid beliau yang meninggal. Beliau pun memutuskan untuk kemabli ke Gunung Raung. Kemudian beliau kembali lagi ke Balipulina. Beberapa tempat menjadi persinggahan beliau seperti Gunung Toh Langkir (Gunung Agung), Munduk Taro (Munduk Gunung Lebah) dan Desa Pwakan.
Di Desa Pwakan ini setelah selesai membuka lahan dan berkat doa-doa beliau, maka suburlah daerah ini. Daerah ini kemudian dinamakan Sarwwada (tumbuh segala yang ditanam, dan berhasil dipanen segala yang berbuah). Di kemudian hari kawasan itu dinamai Desa Taro.
Kemudian Sang Maharsi berkeinginan memindahkan pesramannya yang di Gunung Raung ke Desa Taro. Pesraman beliau di Desa Taro dinamai Parhyangan (pura) Gunung Raung, sehingga sekarang kahyangan tersebut diberi nama Pura Agung Gunung Raung, dikenal oleh umat sebagai sungsungan atau kahyangan jagat.
Bakti pada Sang Hyang Widhi
Karya Agung Panca Wali Krama Penyegjeg Jagat, dilaksanakan pada tahun 2011 tepatnya pada sasih kedasa, Wara Buda, Kliwon Uku Ugu dengan tingkatan Yadnya Utama sesuai dengan petunjuk Yajamana Karya Ida Pedanda Gede Putra Tembau Griya Gede Aan Klungkung. Sarana yang dipergunakan antara lain wewalungan kebo sebanyak 16 ekor dan beberapa wewalungan lainnya sebagai pelengkap yadnya yang diperlukan dalam upacara tersebut.
Wiku yang muput sesuai eedan karya jumlahnya cukup banyak termasuk wiku Siwa, Budha dan Bujangga. Tawur Agung Panca Wali Krama Penyegjeg Jagat dilaksanakan pada Minggu, 20 Maret 2011 pagi hari. Karya ini belum pernah dilakukan semenjak zaman kerajaan dahulu.
Karya Agung Panca Wali Krama Penyegjeg Jagat ini bertujuan adalah sebagai wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan menghaturkan persembahan dengan ikhlas dilandasi hati suci merupakan kewajiban dalam hidup manusia. Selain itu juga untuk membangkitkan kesadaran Umat Hindhu sedharma akan pentingnya peran dan fungsi Pura Agung Gunung Raung yang berada di Taro yang juga untuk mengingatkan umat sedharma bahwa Pura Agung Gunung Raung merupakan suatu tonggak sejarah perjalanan Ida Rsi Markandya ke Bali.